Langsung ke konten utama

Konservasi Arsitektur Stasiun Bogor

BAB I
PENDAHULUAN


    1. Informasi Umum Stasiun Bogor


Bogor memiliki 3 stasiun kereta api. Salah satu stasiun tersebut diantaranya dikenal dengan nama Stasiun Kereta Api Bogor, atau yang biasa disebut dengan Stasiun Bogor saja. Stasiun Bogor (BOO) adalah stasiun kereta api kelas besar tipe A yang beralamatkan di Cibogor, Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat, alan Nyi Raja Permas nomor 1 (pintu sebelah timur, akses terbatas bukan untuk umum), Jalan Mayor Oking (pintu masuk sebelah barat, akses untuk umum). Stasiun yang terletak pada ketinggian +246 m meter ini termasuk dalam Daerah Operasi I Jakarta dan merupakan stasiun kereta api terbesar di Kota Bogor.

Stasiun ini hanya melayani KRL Commuter Line tujuan Depok, Manggarai, hingga Jakarta Kota, dan hingga Jatinegara. Letak stasiun berada di pusat kota bogor tidak jauh dari Istanah Bogor dan Balai Kota Bogor.

Stasiun Bogor mempunyai 8 jalur kereta api. Tujuh jalur digunakan untuk pemberhentian KRL Commuter Line, sedangkan satu sisanya digunakan untuk jalur masuk Dipo Stasiun Bogor.


    1. Sejarah Stasiun Bogor


Stasiun ini merupakan bangunan yang terdiri atas dua bangunan yang berdampingan. Bangunan utamanya adalah bangunan area masuk ke stasiun, lobi, kantor administrasi, tempat penjualan tiket dan fasilitas lainnya. Sementara itu, bangunan keduanya adalah bangunan kanopi yang menaungi peron dan dua jalur kereta api.

Stasiun Bogor dibangun oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij pada tahun 1872 sebagai titik akhir jalur kereta api Batavia-Weltevreden-Depok-Buitenzorg. Stasiun ini dibuka untuk pertama kalinya untuk umum pada 31 Januari 1873. Tidak kurang dari 40 tahun pertama, stasiun ini dikelola oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij, dan baru pada tahun 1913 dibeli oleh SS termasuk jalurnya. Tahun 1881 dibangun stasiun baru. Sepanjang 1881-1883 SS melanjutkan pembangunan jalur kereta api dari Bogor-Sukabumi dan hingga 1887 terhubung hingga Tugu Yogyakarta.
Dahulu, sebuah lapangan luas bernama Taman Wilhelmina pernah menjadi bagian dari stasiun Bogor.
Pada ruang VIP berdiri monumen prasasti dari marmer setinggi 1 meter. Monumen ini sebagai simbol tanda ucapan selamat pagi dari para karyawan SS kepada David Maarschalk yang memasuki masa pensiun atas usahanya mengembangkan jalur kereta api di Jawa. Prasasti ini dibuat sebagai pengganti patung David Maarschalk yang dulunya berada di tempat prasasti ini.
Renovasi stasiun pernah dilakukan oleh Kementerian Perhubungan tahun 2009. Bangunan stasiun yang bertuliskan "1881" ini, yang menghadap Jalan Nyi Raja Permas Raya (Taman Topi) ini akhirnya tidak difungsikan sebagai pintu masuk stasiun untuk umum. Kini bangunan stasiun dipindah menghadap Jalan Mayor Oking.



          Stasiun Bogor  pada tahun 1881.
           (Sumber : Wikipedia)

    1. Bangunan dan tata letak


Pada dasarnya, stasiun ini terbagi atas dua bangunan yang saling berdampingan. Bangunan utamanya adalah berupa, area masuk stasiun, lobi, kantor administrasi, tempat penjualan tiket dan fasilitas lainnya. Bangunan lainnya adalah bangunan kanopi yang menaungi peron dan dua jalur kereta api. Bangunan utama stasiun yang ada saat ini, diresmikan sejak 1881 dan tidak banyak berubah sampai sekarang.
Stasiun ini bergaya Eropa dengan berbagai motif. Misalnya ada yang bermotif geometris awan, kaki-kaki singa, dan relung-relung bagian lantai. Gaya desain ini merupakan gaya dengan nuansa kental Yunani Klasik namun dengan campuran, yaitu memiliki bentuk simetris dan serba persegi. Pada masanya, (1880 - 1889), bangunan seperti ini menjadi tren di Hindia Belanda. Arsitektur bangunan utama menampilkan ciri khas dari gaya arsitektur Indische Empire dengan bentuk massa bangunan yang simetris dengan pintu masuk dan lobi utama bergaya Neo-Klasik.
Kesan anggun dari stasiun ini tercipta dari bentuk atap pelana dengan bentuk segitiga dan gerbang melengkung pada fasad depan bangunan. Sedangkan pada bagian belakangnya, berupa dinding plesteran dengan ornamen garis-garis serta akhiran cornice pada bagian atas berpola lekukan-lekukan kecil yang menurut istilah arsitektur klasik disebut sebagai guttae, membingkai atap jurai di atasnya. Pintu dan jendela memiliki penutup kayu yang akhirnya memperkuat kesan klasik dari bangunan ini. Sedangkan pada bangunan di emplasemen, berupa struktur atap bentang lebar dengan rangka baja dan penutup atap plat besi gelombang.



Stasiun ini memiliki dua lantai. Desain tangga kayu meliuk-liuk menghubungkan lantai 1 dengan lantai 2. Karakteristik bangunan utama khas dengan gaya Indische Empire sedangkan pada lobi bergaya Neoklasik.
Indische Empire adalah gaya arsitektur era kolonial Belanda di Indonesia yang berkembang sekitar abad 18 dan 19. Gaya ini terlahir dari gaya hidup orang Eropa di Indonesia. Bangunan-bangunan dengan gaya ini berupa adaptasi aliran Neoklasik yang populer di Eropa pada masa itu dengan kondisi iklim dan bahan bangunan setempat. Bangunan-bangunan dengan gaya ini bercirikan umum adalah mempergunakan kolom-kolom dorik pada teras depan dan halaman yang luas.
Neo Klasik yang juga disebut sebagai New Classicism adalah pergerakan aliran arsitektur di Eropa dan Amerika yang dimulai pada pertengahan abad ke-18. Gaya ini terinspirasi oleh reruntuhan arsitektur Yunani Klasik dan terutama Romawi.
Desain atap emplasemen (kanopi/overkapping) membentang lebar dengan rangka baja dan penutup atap dengan besi bergelombang. Atapnya sendiri merupakan atap pelana dan memilik bentuk segitiga dan gerbang lengkung. Pada bagian belakang dinding plesteran, terdapat ornamen garis-garis serta akhiran cornice (Hiasan pada tepian dan sudut bagian atas tembok, pilar atau gedung berupa profil ukiran atau molding yang menonjol ke luar sebagai akhiran dinding) pada bagian atas berpola lekukan-lekukan kecil yang dinamakan guttae (dalam istilah arsitektur klasik berarti membingkai atap jurai di atasnya). Sedangkan Molding atau Moulding sendiri adalah garis/kontur dekoratif berbentuk permukaan datar atau melengkung, cekung atau menjorok keluar yang dipergunakan untuk hiasan dinding, batu atau kayu.

    1. Stasiun Manggarai Sebagai Cagar Budaya


Terhitung sebanyak 560 stasiun kereta api di Indonesia menjadi cagar budaya. Rata- rata, stasiun yang berstatus cagar budaya itu dibangun pada zaman kolonial Belanda. Bangunan-bangunan cagar budaya perkeretaapian tersebut tidak hanya menjadi aset bagi PT KAI, tapi juga menjadi amanah bagi penduduk sekitarnya.

Cagar budaya perkeretaapian dapat terbilang sangat kaya, mengingat ilmu pengetahuan dan nilai seninya yang harus dijaga agar dapat dinikmati hingga generasi kita yang akan datang. Beberapa bangunan stasiun yang menjadi cagar budaya yang ada di Kota Bogor kereta api yang sangat terkenal karena nilai arsitekturnya yang tinggi selain Stasiun Bogor yakni Stasiun Jakarta Kota, Stasiun Tanjung Priok, Stasiun Pasar Senen, dan Stasiun Jatinegara.
Menilik aspek historisnya, maka bangunan Stasiun Bogor telah ditetapkan sebagai bangunan benda cagar budaya (BCB) Oleh karena itu, Stasiun Manggarai harus dijaga, dirawat dan tetap dilestarikan keaslian bentuknya.

Berikut ini adalah data mengenai Stasiun Manggarai sebagai cagar budaya Indonesia menurut cagarbudaya.kemdikbud.go.id :

  • NO REGNAS    :    RNCB.20070326.02.000892
  • SK Penetapan    :    SK Menteri NoPM.26.PW.007.MKP.2007
  • Peringkat Cagar Budaya    :    -
  • Kategori Cagar Budaya    :    Bangunan
  • Nama Pemilik    :    PT. KAI
  • Nama Pengelola    :    PT. KAI

BAB II KAJIAN PUSTAKA


    1. Tinjauan Umum Stasiun Kereta Api


Stasiun adalah tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang menggunakan jasa transportasi kereta api. Selain stasiun, pada masa lalu dikenal juga dengan halte kereta api yang memiliki fungsi nyaris sama dengan stasiun kereta api. Untuk daerah / kota yang baru dibangun, stasiun portable dapat dipergunakan sebagai halte kereta.
      1. Pengertian Stasiun Kereta Api


Stasiun kereta api secara umum merupakan fasilitas tempat pemberhentian, keberangkatan, menaikkan dan menurunkan penumpang / barang serta operasional kereta. Sedangkan kereta api merupakan sarana transportasi berupa kendaraan dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya yang akan ataupun bergerak di rel yang juga berfungsi sebagai alat angkutan umum untuk penumpang dan barang (menurut peraturan Menteri Perhubungan No. 33 Tahun 2011).
Menurut Griffin, 2004 desain sebuah stasiun yang baik haruslah menarik, aman, sekaligus teratur. Ruang publik dan ruang privat harus terorganisir dengan baik untuk menciptakan lingkungan yang mengundang aktivitas di pedestrian dan elemen-elemen desain harus diatur sedemikian rupa untuk menguatkan kenyamanan dan keamanan area tersebut. Dari kaidah-kaidah tersebut diwujudkan dengan olah bentuk peruangan dan massa bangunan, yang dimana dapat mempermudah akses bagi seluruh lapisan masyarakat.
      1. Fungsi Kereta Api


Fungsi kereta api sebagai sarana transportasi yakni :

        • Alat angkutan umum untuk penumpang dan barang.
        • Angkutan khusus bagi pekerja dan bahan keperluan pemeliharaan jalan kereta api.
        • Sebagai penghubung suatu tempat dengan tempat lainnya yang sulit dijangkau oleh sarana/alat transportasi lain.
        • Secara  tidak langsung  memperlancar dan  meningkatkan arus lalu  lintas penumpang, barang, dan informasi dari suatu tempat.
  • Fasilitas Stasiun Kereta Api


Fasilitas stasiun kereta api umumnya terdiri atas :

  1. Pelataran parkir di muka stasiun.
  2. Tempat penjualan tiket, dan loket informasi.
  3. Peron atau ruang tunggu.

Peron adalah tempat naik-turun para penumpang di stasiun, jadi peron adalah lantai pelataran tempat para penumpang naik-turun dan jalur rel melintas di stasiun. Sekarang ada dua macam konstruksi lantai peron, yaitu yang dibuat sebelum Perang Dunia II umumnya dengan lantai rendah; sedangkan bentuk kedua adalah yang dibangun setelah Proklamasi umumnya dengan lantai modifikasi yang ditinggikan.
Pada stasiun besar umumnya ada dua macam lantai peron, yang asli berlantai rendah dan yang telah disesuaikan dengan lantai tinggi. Memang pada waktu
itu belum ada pemikiran peron tinggi yang memudahkan para penumpang naik- turun kereta. Di stasiun Tanah Abang, seperti halnya kebanyakan stasiun kereta di jepang, para penumpang tidak dapat menyeberang jalur begitu saja, harus melalui jembatan penyeberangan (dalam hal stasiun Tanah Abang stasiun berada di atas jalur rel).
        • Peron lama atau peron rendah (sebelum Perang Dunia II)
Kereta buatan sebelum tahun 1920 umumnya mempunyai tangga untuk turun ke bawah. Sedangkan kereta buatan sebelum tahun 1941 mempunyai tangga di dalam. Karena pada umumnya stasiun didirikan sebelum Perang Dunia II, maka lantai peron sama dengan lantai stasiun. Akibatnya para penumpang akan sulit turun-naik dari peron lama yang rendah, sedangkan kereta yang beroperasi kini pada umumnya dibuat setelah tahun 1965 yang berlantai dengan tangga yang tinggi. Pada peron lama, para penumpang dengan leluasa menyeberang dan melintas jalur rel, dan hal ini sangat berbahaya sekali bahwa para penumpang menjadi berbaur dengan kereta api.

        • Peron baru atau peron tinggi (setelah proklamasi)
Sebagian dari peron lama, kemudian dilakukan penyesuaian tinggi dengan kereta yang baru. Akibatnya terlihat ada dua ketinggian peron di stasiun besar, hal ini karena PT KAI ingin memberi pelayanan yang baik. Pada umumnya peron tinggi dimaksudkan untuk melayani para penumpang kelas Bisnis dan Eksekutif.
  1. Ruang kepala stasiun.
  2. Ruang PPKA (Pengatur Perjalanan Kereta Api) beserta peralatannya, seperti sinyal, wesel (alat pemindah jalur), telepon, telegraf, dan lain sebagainya.
Stasiun besar biasanya diberi perlengkapan yang lebih banyak daripada stasiun kecil untuk menunjang kenyamanan penumpang maupun calon penumpang kereta api, seperti ruang tunggu (VIP ber AC), restoran, toilet, mushola, area parkir, sarana keamanan (Polsuska), sarana komunikasi, dipo lokomotif, dan sarana pengisian bahan bakar.  Pada papan nama stasiun yang dibangun pada zaman Belanda, umumnya dilengkapi dengan ukuran ketinggian rata-rata wilayah itu dari permukaan laut, misalnya Stasiun Bandung di bawahnya ada tulisan plus-minus 709 meter.
      1. Klasifikasi Stasiun Kereta Api


Stasiun  kereta api  dapat diklasifikasikan  menurut besarnya, tujuannya,  letaknya, bentuknya, konstruksi bangunannya, serta fasilitas yang disediakannya.
  1. Menurut besarnya, stasiun dibagi menjadi :
    • Stasiun Kecil, merupakan stasiun pemberhentian atau halte dengan fasilitas minim yang hanya dilengkapi bangsal penumpang/shelter. Biasanya stasiun ini hanya melayani penumpang lokal, sedangkan untuk kereta cepat biasanya tidak berhenti.
    • Stasiun Sedang, merupakan stasiun yang disinggahi kereta cepat dan letaknya berada di tempat-tempat yang penting di sebuah kota kecil.
    • Stasiun Besar, merupakan stasiun kereta dengan fasilitas lengkap dan disinggahi kereta pengangkuan penumpang dan barang dan biasanya terdapat di kota-kota besar.

  1. Menurut tujuan stasiun, berdasarkan Persyaratan Teknis Bangunan Stasiun Kereta Api PM No. 29 Tahun 2011 Menteri Perhubungan, jenis stasiun terdiri dari :
    • Stasiun Penumpang, merupakan stasiun kereta api untuk keperluan naik turun penumpang.
    • Stasiun Barang, merupakan stasiun kereta api untuk keperluan bongkar muat barang.
    • Stasiun Operasi, merupakan stasiun kereta api untuk menunjang pengoperasian kereta api.

  1. Menurut letaknya stasiun dibedakan menjadi :
    • Stasiun Akhir / Terminal, merupakan tempat dimana kereta memulai atau mengakhiri perjalanan dan biasanya pada kawasan stasiun ini terdapat fasilitas depo atau tempat perbaikan kereta.
    • Stasiun Antara, merupakan stasiun dimana kereta berhenti hanya sesaat kemudian berjalan kembali setelah menaikkan dan menurunkan penumpang.

        • Stasiun Hubungan / Peralihan (Interchange Station), merupakan kombinasi dari stasiun antara (dipandang terhadap jalur kereta utama) dari stasiun akhir (untuk jalur kereta sisi).
        • Stasiun Persilangan (Crossing Station), merupakan stasiun yang ditempatkan dari pengarahan kereta api yang menerus.
  • Menurut bentuknya, stasiun terbagi menjadi :
        • Stasiun Kepala. Bangunan utama stasiun ini di letakkan menyiku dengan jalur kereta dimana kereta berakhir pada stasiun tersebut atau biasa disebut stasiun akhir atau stasiun buntu. Contohnya: Stasiun Kota, Jakarta.
        • Stasiun Sejajar / Terusan. Bangunan utama dari stasiun ini sejajar dengan jalur kereta menerus dan letaknya diantara dua stasiun lain.
        • Stasiun Pulau. Stasiun ini terletak di tengah-tengah diantara dua jalur kereta dan bangunan utama stasiun sejajar dengan jalur kereta.
        • Stasiun Jazirah, merupakan stasiun yang terletak di sudut antara dua jalur kereta yang membelok.

  1. Menurut letak kontruksi bangunan, berdasarkan UU No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian, stasiun kereta api dibedakan menjadi :
        • Stasiun di Permukaan Tanah (Ground Level Station). Stasiun ini dibangun pada permukaan tanah setingkat dengan rel kereta.
        • Stasiun di Atas Jalur Kereta (Over Track Station). Stasiun ini di bangun diatas permukaan tanah dengan jalur kereta dibawahnya.
        • Stasiun di Bawah Jalur Kereta. Stasiun yang dibangun dibawah jalur kereta sehingga jalur relnya berupa jalan layang.

  1. Dilihat dari segi fasilitas yang dimiliki oleh stasiun sebagai stasiun penumpang, maka stasiun terdiri dari tiga macam :
        • Stasiun jarak dekat / commuter, merupakan stasiun yang melayani perjalanan pulang pergi dan jarak dekat dalam kota. Fasilitas yang dimiliki cukup sederhana serta pelayanan penumpang diberikan secara cepat mengingat frekuensi perjalanan pulang pergi yang cukup tinggi. Headway 2 menit, 5 menit, dan 15 menit.
        • Stasiun jarak sedang / medium distance station, merupakan stasiun yang melayani jarak sedang di sekitar luar kora, yang menghubungkan pusat kota
dengan wilayah-wilayah sub kota, yang menghubungkan pusat kota dengan sub urban. Fasilitas yang dimiliki lebih lengkap serta ruang tunggu penumpang yang lebih banyak, mengingat frekuensi perjalanan kereta yang lebih rendah.
          • Stasiun jarak jauh / long distance station, merupakan stasiun yang melayani perjalanan jarak jauh antar kota / negara. Fasilitasnya lengkap termasuk bongkar muat barang dan gudang serta ruang tidur.
  • Tinjauan Khusus Stasiun Kereta Api


Pada bagian ini akan dijabarkan secara arsitektural perbedaan ruang yang dimiliki oleh setiap stasiun kereta api berdasarkan jenis klasifikasi besarnya, kriteria stasiun kereta api, serta sirkulasi yang harus dimiliki.

    1. Ruang Dalam Stasiun Kereta Api


Ruang-ruang dalam stasiun menurut Honing (1981:74-75) terbagi menjadi 3 macam, yaitu sebagai berikut :

  1. Stasiun kecil : Ruang kepala stasiun, ruang tunggu, emperan penumpang, ruang tiket, gudang barang, toilet.
  2. Stasiun sedang : Ruang kepala stasiun, ruang tunggu kelas 1-2-3, emperan penumpang, ruang tiket, gudang barang, toilet, restoran.
  3. Stasiun besar : Ruang kepala stasiun, ruang wakil kepala stasiun, ruang staff stasiun, reservasi tiket, PPKA, POLSUSKA, ruang tunggu kelas 1 dan 2, ruang tersendiri kelas 3, emperan penumpang, ruang tiket, gudang barang, toilet, restoran.

    1. Kriteria Stasiun Kereta Api


Stasiun kereta api harus dapat berperan dengan baik sebagai sebuah elemen kota dan memiliki keterkaitan dengan penggunanya. Fungsinya sebagai ruang publik mengharuskan stasiun dapat memberikan kebutuhankebutuhan penggunanya. Penumpang kereta api dapat dikelompokkan berdasarkan tujuan perjalannya, waktu tempuh  perjalanan, harga tiket, kelompok umur, dan lain-lain. Sebuah stasiun
merupakan satu aset yang terus ada, karena itu desainnya juga harus mengikuti perubahan generasi yang ada.

  1. Lebih mudah diakses dan welcoming, lebih bernuansa publik daripada privat, lebih terbuka dan mudah terlihat.
  2. Stasiun terlihat menarik baik dari segi desain maupun public art yang ada.
  3. Membuat stasiun menjadi vocal point bagi komunitas sekelilingnya dengan penambahan retail dan area komersial yang menarik.
  4. Ramah lingkungan, misalnya dengan penggunaan energi yang efisien, polusi rendah, dan lain-lain.

Terdapat 4 kriteria yang harus dicapai oleh fasilitas pelayanan di stasiun, yaitu : Concern for Context (memperhatikan lingkungan sekitar), Costumer-Friendly Connection (kemudahan akses oleh pengguna), Safety and Easy Use (aman dan mudah), Clarity of Circulation (sirkulasi yang jelas).

Desain stasiun menurut Griffin (2004), desain keseluruhan stasiun harus memenuhi berikut ini :

  1. Mengembangkan  ekspresi berdasarkan  fungsi yang dikombinasikan  oleh bentukan yang sederhana.
  2. Mengembangkan ekspresi bentangan struktur.
  3. Menciptakan    keseimbangan    diantara    konteks    stasiun    dan    elemen keberlanjutan.
  4. Mengembangkan elemen-elemen keberlanjutan sebagai standard perencanaan, seperti modul struktur dan modular komponen-komponen yang mudah di aplikasikan.
  5. Menggunakan  penerang alami  dan ruang multivolume  untuk menampung penumpang dan orientasi yang jelas.
  6. Menggunakan material yang tak lekang oleh waktu, seperti granite, bahan yang tahan lama dan mudah dalam perawatan.
  7. Integrasi ke semua sistem bangunan.
  8. Menghadirkan lingkungan dengan daya dukung akustik.
  9. Menghadirkan desain yang mendukung perawatan stasiun.
  10. Dapat mendukung ketahanan umur stasiun selama 100 tahun lamanya.
  11. Sirkulasi Stasiun Kereta Api


Pengguna kereta memiliki urutan-urutan ketika memasuki stasiun ; Masuk melewati area pengecekan tiket, menuju platform, dan menaiki kereta. Permasalahan dari sebuah stasiun adalah untuk membuat hubungan yang jelas antara tiap bagian stasiun untuk memberikan hierarki pergerakan dengan arsitektur untuk memberikan teknologi yang baik. Elemen sirkulasi dapat dijabarkan menjadi tiga, yaitu :

  1. Sirkulasi Eksternal

Hubungan yang jelas dari masuk dan keluar stasiun adalah aspek penting dari kepuasan pengguna rute menuju jalan pedestrian, akses menuju jalan raya, parkir mobil, pangkalan taksi terdekat, pemberhentian bis, dan lain-lain harus dapat jelas dilihat oleh pengguna. Idealnya area ini tertutup, dilengkapi penerangan yang baik, aman untuk digunakan. Papan penanda pada area luar dan map direksional juga sangat penting dengan ukuran, desain dan letak yang strategis. Secara arsitektural, pemberi tanda akses seperti pintu masuk harus diperhatikan seperti memberikan kanopi lebar diatas pintu masuk utama stasiun layout stasiun juga harus memastikan jalur utama sirkulasi tidak terhambat. Lebar dari sirkulasi harus sesuai dengan kebutuhan fungsi stasiun. Jalur pedestrian harus memiliki lebar tidak kurang dari 1,8 meter dan harus bebas dari benda yang mengganggu sirkulasi seperti tempat sampah.

Sirkulasi eksternal pada jalur sirkulasi pedestrian, mobil, dan sepeda harus diletakkan pada zona yang berbeda. Pedestrian harus dapat dilihat dengan jelas dari jalan yang dilewati. Desain dari detail seperti pegangan tangga ram harus menggunakan material dan warna yang kontras sehingga memudahkan bagi disabilitas. Paving blok untuk pedestrian dan area parkir lebih baik menggunakan aspal, sedangkan untuk penghijauan variasi jenis pohon dengan rumpur lebih baik dari pada semak-semak.

  1. Sirkulasi Internal

Ketika sudah berada di dalam stasiun, pengguna harus dapat menemukan jalan dari hall, tiket menuju kereta tanpa gangguan. Deretan antara 4 zona utama stasiun  adalah akses pintu masuk, informasi dan tiket, aarea menunggu
penumpang, platform kereta, keempatnya harus dapat dilihat dengan jelas. Pintu masuk harus didesain dengan lebih lebar dan luas agar pergerakan penumpang yang melewatinya lebih lancar, selain itu area tiket diletakkan lebih tinggi, kanopi platform didesain elegan daripada kebutuhan strukturnya.

Sirkulasi di dalam stasiun harus memudahkan pergerakan, nyaman dan efisien. Kenyamanan bergantung dari tempat pernaungan yang ada. Sirkulasi internal juga harus terhindar dari halangan seperti troli, aktivitas servis bongkar muat. Selain menyediakan akses utama, terdapat ukuran tipikal untuk memudahkan akses disable di stasiun.

        • Menyediakan lift sebagai pelengkap akses tangga dan ramp.
        • Memasang ramp.
        • Menambah lebar sirkulasi dan pintu.
        • Memberi perlakuan khusus pada lighting, khususnya pada pintu masuk dan tangga.
        • Menggunakan  paving bertekstur  untuk meninformasikan  batas aman platform.
        • Memasang tanda direksional dan peringatan.
        • Menyediakan pegangan untuk tangga.
        • Menyediakan akses khusus menuju meja tiket.
        • Menyediakan toilet dan telepon khusus.


  1. Ruang Transisi

Ruang transisi adalah komponen penting dari desain bangunan sebagai pembentuk area pintu masuk dan juga pergerakan di dalam bangunan. Terdapat 3 jenis ruang transisi yang dapat diidentifikasikan, area pintu masuk dan ruang lain dengan hubungan kuat menuju luar bangunan, sirkulasi internal antara ruang-ruang dan pemisah dari luar bangunan, ruang semi-occupied dengan fungsi cadangan yang bisa diasumsikan user akan berkumpul untuk jangka waktu yang lama. Proporsi area ini terhadap banguan adalah 25%, tetapi data lebih besar bila ruang atrium diikutsertakan. Fitur yang penting dari setiap ruang dapat diidentifikasikan sebagai berikut :


        • Enterance Zones

Zona ini secara khusus penting dalam mengubah ekspektasi thermal, seperti pengalaman thermal pengguna. Walaupun waktu untuk berhenti tidak begitu lama, ruang ini mengurangi kejutan karena perbedaan kondisi thermal dan memberikan waktu untuk adaptasi thermal. Ruang ini juga berkorepodensi pada penyesuaian psikologi berkaitan dengan perubahan antara keterbukaan eksterior dengan area indoor yang tertutup.

Pada iklim tropis, terdapat kecenderungan kuat untuk memilih penggunaan energi berlebih pada pengatur suhu udara (AC) sebagai solusi untuk kenyamanan pada lingkungan dalam bangunan. Walaupun begitu terdapat studi yang menitikberatkan pada adaptasi terhadap lingkungan. Terdapat riset tentang perbedaan akan ventilasi alami dengan ruangan ber-AC pada iklim tropis.

Pada pintu masuk stasiun menyediakan hubungan antara stasiun dan jalan lingkungannya dan desainnya harus mencerminkan kebutuhan berbeda antara keduanya. Pintu masuk harus menyediakan akses yang mudah untuk pengguna. Area ini harus memiliki akses langsung dan jelas menuju jalur pedestrian lingkungannya dan dapat terlihat dengan mudah diantara konteks lingkungan urban sekitarnya. Pintu masuk tidak boleh terkena dampak negatif dari jalur pedestrian terdekat, aktivitas atau kegiatan lain yang tidak berhubungan dengan stasiun. Perlu adanya perhatian khusus sering adanya dampak potensial dari penggunaan lahan pada akses stasiun dan berlaku sebaliknya.

        • Circulation Zone

Zona ini mencakup sirkulasi internal penghubung antara ruang dan elemen
- elemennya seperti tangga, ramp, elevator, escalator dan sirkulasi vertikal lainnya. Desain stasiun harus menyediakan elemen sirkulasi yang cukup untuk pergerakan yang aman dan nyaman bagi penumpang pada semua elemen sirkulasi, area servis dan meeting point tanpa mengganggu pergerakan penumpang lainnya.

          • Atrium Environment

Atrium ini menjadi tempat spesial pada desain arsitektur modern yang dapat ditemukan dimana-mana namun juga memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda-beda bergantung pada desain dan iklimnya.
Walaupun istilah ini pada awalnya diasosiasikan pada zaman dahulu sebagai lapangan terbuka, pada bangunan modern atrium hampir selalu ditemukan sebagai ruangan tertutup dengan atap kaca. Terdapat beberapa hal yang menonjol pada atrium yaitu seperti meja resepsi, café, pusat informasi, danakses untuk fasilitas IT sebagai bagian atrium.
    1. Tindakan Terhadap Cagar Budaya


Zaman Kolonial Belanda di Indonesia mewariskan banyak peninggalan yang sarat akan ilmu pengetahuan dan nilai seni yang tinggi. Banyak daerah di Indonesia masih memiliki berbagai jejak peninggalan Bangsa Belanda tersebut. Pada era kolonialisasinya, Belanda menguasai seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia, termasuk infrastruktur transportasi. Belanda bahkan membangun sistem perkeretaapian pertama di Indonesia. Sistem perkeretaapian era Kolonial Belanda sudah lama berakhir, namun peninggalan sejarahnya masih eksis hingga saat ini. PT KAI berkomitmen untuk mencurahkan  perhatiannya dalam pelestarian bangunan-bangunan cagar budaya tersebut. Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa opsi tindakan positif yang dapat dilakukan terhadap cagar budaya Stasiun Bogor yang menjadi topik pembahasan.
      1. Pelestarian


Sampai sekarang sebagian dari masyarakat di Tanah Air kita masih mempertanyakan pelestarian cagar budaya, yang tidak jarang memerlukan tenaga, biaya, sarana dan waktu yang tidak sedikit. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, pengertian Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Dari definisi ini dapat ditarik kesimpulan adanya peran konservasi dan preservasi dalam pelestarian segala sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan (heritage / warisan) baik yang diproduksi oleh alam atau manusia. Sedangkan pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya.

Adapun cakupan pelestarian cagar budaya itu, adalah pemeliharaan sehari-hari, perlindungan melalui jalur juridis (formal : legislatif atau law enforcement) dan pemugaran dan konservasi. Semua kegiatan ini akan dilaksanakan oleh lembaga- lembaga kearkeologian di Tanah Air bersama masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan kaidah-kaidah setempat yang berlaku dalam masyarakat kita.

      1. Pengembangan


Pengembangan, dalam UU Cagar Budaya, adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian.

Masyarakat atau komunitas dalam masyarakat dapat secara aktif bersama-sama dapat terlibat dalam tahap pengembangan sebagai bagian dari pelestarian. Penelitian ilmiah dapat dilakukan oleh berbagai pihak untuk menelisik dan menelaah lebih lanjut tentang warisan dimaksud. Pada titik ini, dimungkinkan terjadi identifikasi kerusakan atau deteriorasi (deterioration), yaitu fenomena penurunan karakteristik dan kualitas Benda


Cagar Budaya, baik akibat faktor fisik (misalnya air, api, dan cahaya), mekanis (misalnya retak, dan patah), kimiawi (misalnya asam keras, dan basa keras), maupun biologis (misalnya jamur, bakteri, dan serangga) yang berujung pada tindakan Pelindungan.

Revitalisasi memungkinkan masyarakat menikmati fungsi asal sebuah bangunan cagar budaya, sebagai contoh sebuah bangunan bersejarah yang kini berfungsi sebagai kantor pemerintahan. Setelah dilakukan kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, ternyata bangunan dimaksud merupakan fasilitas pertunjukan pada masanya. Pada saat- saat tertentu, fungsi ini dapat dikembalikan seperti semula dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai pelestarian. Demikian juga dalam soal Adaptasi, misalnya penambahan ruangan pada bangunan tersebut sesuai dengan kebutuhan.

Unsur-unsur publikasi Cagar Budaya dapat dikembangkan oleh masyarakat atau komunitas masyarakat melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Publik dapat menampilkan kegiatan-kegiatan promosi berupa pentas seni dan budaya. Sekali lagi unsur pelestarian (Pelindungan) harus menjadi acuan utama. Kita bisa saja menggelar pentas seni budaya di sebuah Cagar Budaya, namun ternyata tata cahaya, tata suara dan tata panggung yang dipergunakan malah mengancam integritas fisik bangunan. Hal ini harus dihindari agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut.

      1. Pemanfaatan


Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar- besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya (UU Cagar Budaya 2010). Dalam konteks pelestarian, pemanfaatan Cagar Budaya adalah mutlak karena merupakan muara dari pelestarian. Untuk apa sebuah Cagar Budaya dilindungi dan dikembangkan bila tidak dimanfaatkan? Pemanfaatannya dapat berupa sarana pembelajaran, pusat rekreasi seni dan budaya, tempat diskusi dan lain sebagainya. Contohnya dapat menekankan elemen pendidikan dalam pemanfaatan Cagar Budaya karena pemahaman tentang pelestarian itu lebih efektif dilakukan dengan pendekatan pendidikan. Pemanfaatan lainnya dapat berupa kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi, pariwisata, agama, sejarah, dan kebudayaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik arsitektur - Analogi Arsitektur

Analogi dalam berarsitektur terbagi atas beberapa jenis sebagai berikut:   Analogi Matematik Bentuk arsitektur yang mengambil sumber bentuk dari angka-angka, geometri, dan bentuk-bentuk dasar matematika seperti bola, piramida, balok, tabung dan lain-lain. Terkadang dua atau tiga bentuk-bentuk dasar tersebut dikombinasikan untuk dijadikan bentuk arsitektural. Analogi Biotik Analogi biotik juga sering disebut dengan bentuk organik. Analogi biotic adalah berasal dari bentuk-bentuk yang ada didalam seperti bentuk dari keong, batu karang, bentuk daun, dan lain-lain. Sumber bentuk dari ala mini sangat banyak dan menunggu daya kreasi arsitek untuk mengolahnya menjadi sebuah bentuk dari bangunan arsitektur.   Analogi romantic Arsitektur harus mampu menggugah tanggapan emosional dalam diri si pengamat. Hal ini dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu dengan menimbulkan asosiasi (mengambil rujukan dari bentuk-bentuk alam, dan masa lalu yang akan menggugah emosi ...

Kritik Arsitektur Interprektif

  “The Guild / RAW Architecture” – Meruya, Jakarta Barat Metode Kritik Interpretif Terletak di sudut jalan di perumahan villa meruya, jakarta barat. The Guild memperlihatkan sisi introvert dengan dinding pembatas yang tinggi dan tidak ada cela mengintip. Seolah ingin menyendiri dari kebisingan kota jakarta yang padat walau The guild Terlihat padat di luar namun pada sisi bagian dalam terdapat bukaan taman yang bagus. Rumah sekaligus studio arsitek ini pada saat pertama kali kesana terlihat sebuah tembok besar dan menyamarkan bangunan dengan jendela besar dan pintu yang melengkung serta melingkar dan juga betonnya yang besar saya tersadar ini sebagai rumah Brutalist Hobbit Rumah The Guild ini terdiri dari kamar tidur utama, dapur, ruang tamu, kamar anak, ruang keluarga kecil dan tempat berdoa. Setengahnya   bangunan rumah ini digunakna sebagari studio RAW Architecture yang dipisahakan oleh Tangga sepiral. Studio dengan dinding beton tersebut memiliki bentuk...

SEJARAH GOLDEN HORN BAY ISTANBUL (TANDUK EMAS)

Konstantinopel (bahasa Yunani: Κωνσταντινούπολις Ko̱nstantinoúpolis, bahasa Latin: Constantinopolis, bahasa Turki Utsmaniyah: قسطنطینیه , bahasa Turki: Kostantiniyye atau İstanbul) adalah ibu kota Kekaisaran Romawi, Kekaisaran Romawi Timur, Kekaisaran Latin, dan Kesultanan Utsmaniyah. Hampir selama Abad Pertengahan, Konstantinopel merupakan kota terbesar dan termakmur di Eropa. Sekurang-kurangnya sejak abad ke-10, kota ini umum disebut Istanbul yang berasal dari kata Yunani Istimbolin, artinya "dalam kota" atau "ke kota". Setelah ditaklukkan oleh kaum Utsmaniyah pada 1453, nama resmi Konstantinopel dipertahankan dalam dokumen-dokumen resmi dan cetakan mata uang logam. Ketika Republik Turki didirikan, pemerintah Turki secara resmi berkeberatan atas penggunaan nama itu, dan meminta agar diganti dengan nama yang lebih umum, yakni Istanbul. Penggantian nama tersebut diatur dalam Undang-Undang Pelayanan Pos Turki, sebagai bagian dari reformasi nasio...